INDRAMAYU (CIREBON BRIBIN) - Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Bahkan, bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, kezaliman, dan angkara murka.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Kasubag TU Puslitbang Bimas Islam Kemenag Ri, Rizki Riyadu Topeq, Bedah Buku “Moderasi Beragama” karya KH. Lukman Hakim Saifuddin di Aula Idham Chalid Kampus Hijau Kaplongan, Kabupaten Indramayu, Sabtu (23/4).
"Agama tidak perlu dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan," ungkapnya dalam acara yang bekerjasama dengan Yayasan Oemah Satu Bangsa tersebut.
Dikatakan Rizki, Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenag semakin giat menyerukan kampanye tentang moderasi beragama ini dalam berbagai kesempatan dan elemen masyarakat. Mulai dari rumah ibadah, lingkungan tempat tinggal, bahkan sekolah.
Hal tersebut bertujuan untuk menekankan pentinganya toleransi dalam kehidupan beragama dan mencegah timbulnya sikap ekstrem yang hanya merugikan.
Masyarakat Indonesia selaku ummat beragama yang taat hendaknya turut mendukung gerakan anti radikallisme ini.
Karena, radikalisme adalah sikap yang hanya akan mendatangkan kerugian. Apalagi jika pemahaman itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan ekstrem seperti kekerasan.
Ia mengakui, dakwah memang harus dilaksanakan, namun dengan cara-cara yang menyejukkan.
"Hal itu sejalan dengan hakikat Islam Rahmatan Lil’alamiin, pembawa rahmat bagi seluruh alam. Cara pandang dan sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat Indonesia, karena keragaman dapat disikapi dengan bijak, serta toleransi dan keadilan dapat terwujud," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Oemah Satu Bangsa, Wahyono An Najih, mengatakan, masyarakat harus kembali ke akar ke-Indonesiaan. Di mana, akar jati diri ke-Indonesiaan itu memiliki empat hal yakni keadilan, moderasi, kebajikan, dan persahabatan.
Bahkan, ukuran moderasi beragama juga sangat sederhana. Yakni, seberapa banyak teman kita yang tidak berbahasa sama dengan kita, tidak berorganisasi sama dengan kita, dan tidak sama cara beribadahnya.
"Mari kita sosialisasikan di masyarakat dan medsos, bahwa kita semua bersahabat, berkawan, dan bersaudara. Saya kira ini sangat diperlukan dalam konteks ke-Indonesiaan yang sangat kaya," jelasnya. (CB-003)