Dalam aksinya, koalisi Jurnalis Cirebon melakukan berorasi dan menampilkan berbagai poster di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Senin (30/5). |
KEJAKSAN (CIREBON BRIBIN) - Koalisi Jurnalis Cirebon menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day di Tugu Proklamasi, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (30/5).
Aksi tersebut untuk menyuarakan kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis.
Koalisi Jurnalis Cirebon merupakan kolaborasi antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Cirebon Raya, sejumlah organisasi pers kampus seperti Fatsoen dan unsur mahasiswa lainnya, serta para jurnalis di wilayah Cirebon. Dalam aksinya, massa berorasi dan menampilkan berbagai poster.
Poster itu berisi harapan dan tuntutan massa aksi, seperti "Jurnalis Harus Independen", "Tolak Kekerasan Terhadap Jurnalis", hingga "Jurnalis Ramah Anak". "Ini aksi refleksi terhadap Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei. Selama bulan Mei, masyarakat pers memperingati rangkaian Hari Kebebasan Pers Sedunia," ujar koordinator aksi, Abdullah Fikri Ashri.
Seperti diketahui, sejak 3 Mei 1993, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Hari Kebebasan Pers Sedunia. Momentum tersebut untuk mengingatkan berbagai pihak terkait kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi jurnalis.
Meskipun sudah 29 tahun lalu masyarakat dunia memberikan perhatian untuk kebebasan pers, menurut Fikri, kondisi jurnalis masih jauh dari harapan. Rabu (11/5) lalu, misalnya, jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh (51), dibunuh dalam serangan tentara Israel di kawasan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat.
"Kasus tersebut menunjukkan jurnalis belum sepenuhnya terlindungi," ucapnya.
Di Indonesia, kasus pembunuhan jurnalis juga masih menghantui. Misalnya, kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin wartawan Harian Bernas Yogyakarta, 1996, yang hingga kini belum terungkap pelakunya.
Fikri menambahkan, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia juga diinisiasi AJI di 20 kota di Indonesia, seperti Bandung, Kendari, dan lainnya. Di Cirebon, massa mengampanyekan kebebasan pers kepada semua pihak.
"Untuk jurnalis, kami mengingatkan agar menjaga kode etik jurnalistik. Kepada pemerintah dan aparat keamanan diharapkan melindungi jurnalis," ujarnya.
Massa aksi juga mengingatkan masyarakat agar menaati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Misalnya, jika ada protes tentang pemberitaan, masyarakat bisa mengajukan hak jawab atau hak koreksi ke media bersangkutan, bukan ke polisi. Sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers," ujarnya.
Dengan begitu, lanjutnya, jurnalis bisa terlindungi. Apalagi, kasus kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi. AJI mencatat, sejak 2006 hingga awal 2022, terdapat 911 kasus kekerasan pada jurnalis. Kasus itu meliputi kekerasan fisik, ancaman teror, hingga serangan digital.
"Saat ini, serangan digital marak terjadi, seperti doxing atau peretasan," katanya.
Ketua IJTI Cirebon Raya Faizal Nurathman menambahkan, kasus kekerasan juga mengancam jurnalis di Cirebon. Seorang rekan jurnalis televisi di Cirebon, lanjutnya, pernah diminta aparat menghapus videonya karena merekam kekerasan polisi yang diduga dilakukan kepada pendemo pada unjuk rasa RUU Cipta Kerja 2020. Padahal, jurnalis itu telah menunjukkan identitasnya.
"Kerja jurnalis dilindungi undang-undang. Itu sebabnya, pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokrasi tidak ada," ujar Faizal. (Rls/CB-003)