Berbincang usai kunjungan ke reservoir Perumda Air Minum Tirta Giri Nata. Dok Humas DPRD Kota Cirebon. |
SUMBER (CIREBON BRIBIN) - Komisi II DPRD Kota Cirebon melakukan pengawasan ke lokasi reservoir Perumda Air Minum Tirta Giri Nata di Kelurahan Babakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Senin (21/11).
Dalam kesempatan itu, Ketua DPRD Kota Cirebon, Ruri Tri Lesmana turut mendampingi. Rombongan diterima langsung Direktur Utama Perumda Air Minum Tirta Giri Nata, Sopyan Satari beserta jajarannya.
“Alhamdulillah titik kebocoran sudah mulai terdeteksi dengan baik. Seperti misalnya di wilayah Perumnas ada 50 titik dan sudah terantisipasi semua,” ungkap Ruri usai monitoring.
Ruri menambahkan, dengan telah beroperasinya reservoir milik Perumda Air Minum Tirta Giri Nata, pelayanan kepada masyarakat menunjukkan tren perbaikan.
“Dari sisi pelayanannya memang harus lebih maksimal lagi. Distribusi ke masyarakat harus lebih optimal,” kata politisi Partai Gerindra itu.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi II DPRD Kota Cirebon, Karso. Menurutnya, pelayanan distribusi air Perumda Air Minum Tirta Giri Nata saat ini menunjukkan perubahan yang lebih baik.
“Memang sudah banyak perubahan terkait pelayanan. Terutama dengan penerapan sistem DMA (District Metered Area, red) untuk menganalisa dan mengantisipasi tingkat kebocoran,” kata Karso.
Saat ini memang baru ada tiga DMA, yakni di kawasan Perumnas Gunung, Perumnas Burung dan Majasem.
“Di Perumnas Burung saja bisa ditemukan 50 titik kebocoran dalam sehari,” ujar politisi PKS itu.
Kebocoran tersebut, imbuh Karso, bervariasi. Ada yang di sambungan induknya, sambungan liar, instalasi dinas, ada pula di meta air, dan lain sebagainya.
“Saya yakin dengan tingkat kebocoran yang masih 42 persen itu, insya Allah pada Januari 2023 kita sudah jauh turun dari itu. Karena tidak butuh waktu lama untuk perbaikan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Perumda Air Minum Tirta Giri Nata, Sopyan Satari mengatakan, sebelum ada reservoir berkapasitas 9.000 meter kubik tersebut, aliran air ke wilayah perkotaan lebih lambat.
“Dulu kalau kita mau mengalirkan air ke kota harus didorong dulu. Harus mematikan dulu air yang di sini, sudah terkumpul, baru dilepas secara bersamaan. Itu mengandung resiko juga. Sekarang tidak lagi seperti itu,” ungkapnya. (CB-003)