CIREBON (CIREBON BRIBIN) - Media sosial sejatinya merupakan ruang atau media yang diciptakan untuk berkomunikasi, bersosialisasi atau berbagi ide secara online.
Bila digunakan secara positif, media sosial dapat menghubungkan seluruh komunitas tanpa mengenal perbedaan jarak dan waktu. Bukan hanya untuk sekedar bertegur sapa, namun juga berbagi pengetahuan.
Namun, rupanya media sosial juga kerap dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. Salah satunya adalah media sosial yang kerap digunakan oleh pada pelaku human trafficking.
Penulis yang konsen dalam bidang keamanan dan teknologi, Noèmie Kurta mengatakan, media sosial rentan praktik human trafficking. Sebanyak 70 persen korban human trafficking dijerat melalui media sosial.
Sayangnya, karena iming-iming atau bujuk rayu. Banyak dari mereka yang tidak menyadari telah menjadi korban human trafficking.
Hal tersebut Ia katakan dalam diskusi virtual “Cyber Security untuk Pencegahan Penculikan dan Perdagangan Orang”, Sabtu (18/2).
“Oleh karena itu, penting adanya penyebarluasan informasi atau bekal pengetahuan kepada anak muda, terutama kaum perempuan, tentang human trafficking,” kata penulis berkebangsaan Perancis ini.
Melihat kondisi ini, agar tidak terus menerus jatuh korban yang terjebak human trafficking melalui media sosial.
Perlu adanya sosialisasi secara masif dari semua pihak agar masyarakat tidak menjadi korban dalam perdagangan orang.
Ia menambahkan, human trafficking tidak melulu berupa pelacuran. Bisa juga dalam bentuk kerja paksa.
Sebagai pengguna media sosial, kita harus waspada terhadap tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi jenis pekerjaan maupun lokasinya tidak jelas.
“Setelah pekerjaan itu korban terima, pelaku akan menyita KTP, paspor, dan dokumen lain milik korban. Ini merupakan tanda-tanda yang sangat jelas, tentang adanya praktik human trafficking,” terang Noemie Kurta.
Senada dengan Noemie, Trigo Neo Starden, WNI yang berlatar belakang pendidikan bisnis, maritim, dan hukum mengatakan, sosialisasi tentang human trafficking perlu dilakukan secara masif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Bukan hanya ditingkatkan perkotaan, penyebarluasan informasi ini juga harus menjangkau hingga tingkat desa. Baik itu melalui media massa atau bahkan melalui media sosial itu sendiri.
“Melalui pemberitaan, kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan bahaya human trafficking akan terbangun,” ucapnya.
Trigo juga mengamini apa yang disampaikan Noemie, bahwa human trafficking tidak hanya dalam bentuk pekerja sex dan bisnis pelacuran saja.
“Seperti yang terjadi di Inggris, human trafficking tidak hanya menjadi pekerja sex dan pelacuran tapi terjadi juga di sektor perkebunan,” katanya.
Ia berpesan, agar masyarakat yang hendak bekerja di luar negeri waspada terhadap tawaran yang menjebak, dan jangan hanya melihat yang manis-manisnya saja.
“Tidak semuanya bekerja di luar negeri itu menyenangkan dan enak, tapi ada sisi yang harus menjadi perhatian yakni masalah human trafficking yang bersembunyi dibalik janji manis,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Cirebon, Fifi Sofiah yang turut hadir dalam diskusi virtual tersebut mengatakan, semua pihak, terutama pemerintah.
"Semua punya tanggung jawab untuk menekan dan menanggulangi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak," katanya. (CB-003)